Rabu, 02 Februari 2011

Otonomi Daerah Belum Menyejahterakan

Desentralisasi otonomi daerah yang selama ini dijalankan Indonesia belum mampu menyejahterakan masyarakat. Ketua Tim Kelompok Kerja Revisi Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, Made Suwandi, menilai, otonomi daerah di Indonesia dinilai terlalu luas sehingga tujuannya untuk menyejahterakan semua masyarakat belum bisa diwujudkan.

Pemerintah pusat kini sedang menggodok revisi undang-undang tersebut. Hal itu disampaikan Suwandi saat menjadi pembicara tunggal dalam Semiloka tentang Pemerintahan Daerah di Lamongan, Rabu (2/2/2011). Suwandi yang juga Staf Ahli Menteri Bidang Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, sebenarnya untuk mengatur otonomi daerah (otoda) pemerintah pusat telah mengatur agar ada 31 urusan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah.


"Indonesia adalah negara otonomi daerah terluas di dunia. Mulai darat, laut, hingga udara diotonomikan," ujarnya.

Dia menyayangkan, ada yang salah dalam menyikapi pelimpahan kewenangan tersebut meskipun telah diatur (kewenangan) mana yang urusan wajib dan mana urusan pilihan. Saat ini, semua kewenangan yang diberikan kepada daerah diurusi, tetapi tidak ada skala prioritas.

"Semakin banyak yang diurusi, semakin banyak membutuhkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan ujung-ujungnya membutuhkan semakin banyak pegawai (PNS)," paparnya.

Sebagian besar APBD di Indonesia, sekitar 53 persen di antaranya, habis untuk membayar pegawai, belum termasuk biaya perkantoran. Total antara 70 dan 80 persen APBD terserap untuk biaya pekerja yang bertugas untuk memakmurkan masyarakat. Hanya ada 20 hingga 30 persen dari APBD yang untuk memakmurkan rakyat.

"Hal itulah yang melandasi pemikiran pemerintah untuk melakukan revisi UU nomor 32," katanya. Dia menyebutkan, solusi untuk permasalahan tersebut sebenarnya sederhana, yakni dikembalikan pada filosofi pemerintah untuk menyejahterakan masyarakatnya.

Negara sejahtera seperti didefinisikan oleh PBB adalah negara yang masyarakatnya pandai, sehat, dan pendapatannya tinggi atau yang kini diterjemahkan sebagai indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index. Jika filosofi itu dijadikan patokan, maka tiap daerah harus punya skala prioritas dari 31 urusan yang diberikan kepada daerah.

"Kalau perlu dibuat survei di masyarakat, kebutuhan dasar apa yang paling menjadi prioritas," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar